Saturday, May 30, 2015

contoh cerpen

Senandung Milyaran Semut




Cerpen Karangan:
Lolos moderasi pada: 5 May 2015

Bukan warna-warna kelabu yang mungkin menghadirkan diri dan solah-olah memberitahu bahwa hari-hari sendu akan datang. Sebagai pembanding yang nyata ada sebingkai senyum pelangi yang melebar simetris searah mentari di ufuk timur. Pelangi itu bersinar sehingga senyumnya merekah secerah warna yang menggembirakan. Di tempat ini ada riuh tawa yang menyejukkan hati barang siapa saja yang sedang berduka. Senda gurau, gotong royong, kerjasama dan rengekan-rengekan manja para penghuni turut serta mengalun meriah. Semua dapat peran, semua dapat bagian. Di sini ada segolongan pekerja yang kuat-kuat, giat-giat, tak kenal lelah dan tanpa pamrih. Saling tolong-menolong dan memperhatikan satu sama lain. Di ruang ini ada milyaran kebaikan yang dapat dipelajari dari setiap penduduk. Dan tentu saja aku.
Mereka hadir dan memberikan warna yang baru. Dan aku tak pernah berkeberatan untuk hal itu. Justru aku bersyukur karena keberadaan mereka membuatku lebih berarti dan lebih bersemangat menjalani hidup. Apalah artinya sebuah pohon beringin besar di sudut jalan nan kumuh yang di sebelahnya setiap saat ada saja yang membuang makanan sisa, makanan yang masih bagus, sampah plastik, sampah kulit kacang, sampah kulit pisang, bahkan sampai kotoran. Duniaku berubah setelah milyaran penduduk kecil yang tahu diri mememani hari-hariku dan setia di sisiku dari aku terbangun sampai aku tidur.

Memperhatikan aktivitas mereka membuatku senang dan merasa memiliki satu sama lain, walaupun mungkin mereka tidak tahu bagaimana perasaanku yang sangat bahagia memiliki teman-teman yang luar biasa ini. Walaupun aku tahu yang sebenarnya menarik perhatian mereka untuk datang ke tempatku bukanlah sebatang pohon yang besar dan menakutkan, apa menariknya?. Terlebih kepada benda-benda yang selalu mengganggu penciumanku atau bahkan manusia sekalipun. Merekalah sampah-sampah yang sekarang katanya lebih berarti dari sebatang pohon, buktinnya setiap hari ada saja pemulung yang datang memunguti sampah dengan berbagai jenis yang diklasifikasikan. Ada sampah organik untuk pakan ternak, ada sampah plastik untuk dijual lagi, sampah kardus atau koran dan lain-lain. Orang-orang berlomba-lomba memunguti sampah dan bahkan jumlah pemulung semakin banyak. Lalu, siapa manusia yang mau menyelamatkan diri mereka dengan menanam pohon?. Apalagi menanam pohon beringin. Kalaupun ada pasti ada sesuatu di baliknya.
Mobil sedan hitam itu berhenti tepat di depanku. Ada dua orang manusia yang saling tertawa satu sama lain. Membuka kaca mobil mereka sambil membuang sebungkus roti, lalu melaju lagi dengan cepat. Inilah kejadian yang acap kali dinanti-nanti milyaran penduduk yang ada di tubuhku. Mereka langsung bersorak-sorai bergembira dan bergegas dengan cepat, sigap dan ligat memungut harta karun mereka itu. Sepotong roti. Inilah saat-saat dimana aku senang mereka berada di sisiku, aku bahagia karena mereka bahagia. Mereka tidak pernah mengusikku dan merekalah semut-semut pembersih yang dengan tekun, gotong-royong membawa makanannya ke tempat yang aman dengat penuh bersemangat. Makanan-makanan itulah bekal mereka jika hari sedang tidak bersahabat, cuaca buruk, ada badai, atau sedang tak tersedia harta karun.
Pagi ini sepertinya tampak lebih baik dan lebih bersahabat. Teman-temaku mendapatkan harta karun yang lebih banyak dari hari-hari sebelumnya. Ada beberapa kotak nasi yang dibuang begitu saja oleh pemilliknya lengkap dengan lauk-pauk yang belum disentuh secuil pun. Keadaan ini tentu saja sangat menyita waktu sahabat-sahabatku, mereka sangat bersemangat dan lebih giat mengumpulkan butiran-butiran nasi hingga menggunung. Terlebih mereka harus ekstra kerja keras bergerak dan bergotong-royong lebih cepat sebelum bersaing dengan para pemulung. Tapi sepertinya kerja keras mereka harus terhenti saat dua orang pemulung mengambil semua harta karun mereka. Yang tersisa hanyalah beberapa butir nasi yang masih melekat di kotaknya, lauk-pauk yang kuahnya berceceran karena pemulung tak hati-hati, dan plastik pembungkusnya.
Hari ini sahabat-sahabatku hanya mengumpulkan sedikit makanan. Dan akhirnya pada sore hari mereka harus cukup puas karena tukang jualan gorengan di seberang jalan membuang setumpuk kulit pisang tepat di depanku. Pada akhirnya rasa marahku kepada tukang gorengan itu memudar seiring dengan kebahagiaanku karena sahabat-sahabatku dapat mengumpulkan makanannya. Mendapatkan harta karun tak terduga di sore hari, dan aku hanya dikelilingi sampah-sampah.
Hari ini adalah pagi yang cerah. Namun untukku, cahaya matahari pagi ini terlalu meyilaukan mataku. Aku tak tahu apa yang akan terjadi sampai pada saat aku mendengar percakapan dua orang satpol pp petugas tata taman dan kota yang sedari tadi mondar-mandir di depanku.
Pegawai I: Mas, sepertinya yang ini sudah mengganggu mas! Apa sebaiknya kita tebang saja atau dirapihkan?
Pegawai II: Oh, kamu benar. Pohon ini memang sudah mengganggu. Lihat saja rantingnya sudah masuk ke badan jalan dan tentunya mengganggu pengguna jalan raya. Akarnya pun sudah keluar dan menembus trotoar, pastilah juga sudah mengganggu pejalan kaki.
Pegawai I: Baikkah, kalau begitu apa tidak sebaiknya kita tebang saja Mas?
Pegawai II: Iya, sudah ditebang sajalah. Tetapi bagaimana kalau besok saja kita tebang, kita harus bawa alatnya dulu. Pohonnya besar sekali, jadi biar besok kita bawa alatnya lalu kita tebang habis saja pohonnya.
Pegawai I: Baiklah kalau begitu, besok pagi kita lanjutkan ya Mas. Mari kita istirahat dulu Mas,
Pegawai II: Ya!
Pada akhirnya aku tahu, bahwa di pagi hari yang cerah ini, bahkan hari yang tidak seperti biasanya karena matahari sangatlah menyilaukan mataku. Kepalaku seketika pusing, berkunang-kunang, aku lemah. Sampai sekarang percakapan dua orang manusia itu masing ternging-ngiang di telingaku. Membayangkan apa yang harus aku lakukan besok sebelum dua manusia itu datang kehadapanku dan membawa alat yang mereka katakan akan membunuhku, menghabisi hidupku. Apa aku harus lari? bersembunyi? dimana?. Cukup sudah khayalan konyolku. Aku bukan manusia, aku tak punya kaki, mana bisa aku berlari. Aku punya badan yang besar, mana bisa aku bersembunyi dan dimana?. Sekilas terbayangkan wajah-wajah sahabat-sahabatku yang penuh keceriaan, kegembiraan. Aku merasakan tak ada batas antara aku dan mereka. Aku ada karena mereka ada. Kalau aku tak ada, bagaimana dengan mereka? Kemana mereka akan tinggal? Apakah mereka akan dapat harta karun setiap hari? . Pertanyaan demi pertanyaan terus mengalir tanpa aku bisa menghentikannya. Aku merasakan ada aliran air mata yang turun dari mataku, mengalir seiring lekukkan tubuhku. Menetes-netes hingga turun di permukaan tanah.
Ingin sekali hari ini diriku memberanikan diri dan mengatakan semuanya kepada sahabat-sahabatku, mereka harus pergi, mereka harus lari, mereka harus pergi sejauh mungkin, jangan pernah kembali, carilah tempat yang aman dan banyak harta karun untuk mereka simpan. Tapi bagaimana aku dapat mengatakannya?. Sekarang semuanya berubah menjadi gelap, langit meredup dan seakan tahu kegelisahanku. Halilintar yang hampir menampar-nampar pucukku tak aku hiraukan lagi. Aku tak lebih takut pada halilintar itu, tapi membayangkan apa yang akan terjadi besok, padaku, pada sahabat-sahabat setiaku adalah hal yang paling membuatku ketakutan. Seketika langit pun ikut menangis bersama tangisanku. Kami menangis sejadi-jadinya, sekuat-kuatnya. Tanpa henti.
Hari ini adalah hari yang aku harapkan tidak ada. Hari ini adalah hari yang membuatku menggigil sejadi-jadinya. Hari ini akan ada alat besar yang akan membelah tubuhku, mencincang rantingku, mencongkel akar-akarku. Aku tak kuasa lagi untuk mengatakan semuanya. Apalagi sekarang sahabat-sahabatku masih setia berada di sampingku, menemani tidurku yang tak nyenyak semalaman. Apa yang harus aku lakukan?. Tanah ini seperti bergetar menyambut datangnya mobil pick up yang berisi dua alat pemotong pohon dan sepuluh pegawai satpol pp tata taman dan kota yang akan menghabisi hidupku. Sebentar lagi. Ingin sekali rasanya aku berteriak sekuat-kuatnya, sekencang-kencangnya agar milyaran penduduk yang tak berdosa di tubuhku ini pergi menjauh. Tapi aku tak bisa mengatakan apapun, atau berlari, atau bersembunyi. Aku tak bisa berbuat apapun. Aku hanya diam dan berpura-pura tuli dalam kegaduhan jalan raya yang ramai ini, berpura-pura buta tidak melihat apa yang akan dilakukan para manusia untuk membunuhku. Aku hanya pasrah.
Perlahan tapi pasti aku merasakan sakit. Para manusia itu dengan sangat gegabah memotong rantingku, mematahkannya, dan menggergaji tubuhku. Aku merasakan sakit yang luar biasa. Setengah sadar aku melihat sahabat-sahabatku berkeliaran tak tentu arah, tidak seperti pada saat mereka menemukan harta karun. Pada saat itu mereka berjejer rapi, saling menyapa, saling bergotong royong dan membantu satu sama lain. Kali ini milyaran mereka berlari kesana-kemari. Aku pun merasakan ketakutan yang mereka rasakan. Namun aku tak dapat berbuat apapun. Perlahan semuanya gelap. Sahabat-sahabatku pun tak lagi bersenandung. Milyaran semut bergelimpangan tak bersenandung dengan teratur dalam harmoni kedamaian dan kegembiraan, tak ada lagi semangat yang bergelora, tak ada lagi kegembiraan dan keceriaan di sini. Sampai aku menutup mata.

No comments:

Post a Comment